x_3c151c33

Minggu, 11 Desember 2011

Lelaki Pendek, Hitam dan Lebih Jelek dari Untanya

"Ada berjuta orang baik yang tidak kita kenal"

Di Baqi' yang hening, kampung kecil di pinggiran Madinah, Rasulullah seperti biasa menyampaikan nasihat-nasihatnya. "Siapa yang hari ini mengeluarkan shadaqah, maka aku akan memberikan kesaksian baginya di sisi Allah pada hari kiamat", begitu Rasulullah mengabarkan berita gembira.

Tak lama datang seorang penduduk. orang itu begitu hitam mukanya, paling pendek di antara penduduk yang lain. Bahkan lelaki itu selama ini dianggap paling hina di antara mereka. Lelaki itu datang membawa seekor unta yang sangat bagus. Tidak ada seekor unta pun yang lebih bagus dari unta miliknya.

"Apakah unta ini untuk shadaqah?" tanya Rasulullah.
"Benar wahai Rasulullah", jawab lelaki itu.

Tiba-tiba ada orang yang berkomentar mengejeknya. "Dia menshadaqahkan untanya? Padahal unta itu lebih bagus dari dirinya".

Mendengar perkataan itu, Rasulullah tidak senang dan berkata,"Kamu sangat keliru, itu tidak benar. Bahkan orang ini lebih baik dari dirimu dan untanya. Engkau keliru."

Rasulullah bahkan mengulang perkataan itu tiga kali. lalu menambahkan, "Beruntunglah orang yang zuhud dan berusaha".

Begitulah, lelaki hitam dan pendek penduduk Baqi' itu adalah fragmen tentang orang baik yang dilecehkan. Ia bukan saja tidak terkenal, bahkan ia dianggap paling hina di antara sesama warga kampung itu. Wajahnya hitam, tubuhnya pendek. Untanya lebih 'ganteng' dari darinya.

Pola pikir "Lelaki pendek, hitam, lebih jelek dari untanya" seperti itu, sesungguhnya hari-hari ini begitu mewabah. Kita hidup di tengah masyarakat yang hanya melihat harga orang lain dari tampilan luarnya. Maka di sini berlaku hukum ketenaran, keterkenalan, dan kemahsyuran. Sesuatu yang sangat mudah direka-reka oleh industri media yang menggurita. Raksasa media hanya punya satu bahasa: bila kamu tidak terkenal maka kamu bukan siapa-siapa.

Industri media semakin mengokohkan, bahwa menjadi terkenal saat ini tidak harus dengan kebaikan. Ia bisa membuat yang buruk tampil terkesan baik, alami, manusiawi, dan bagian dari hak asasi. Sebaliknya, ia bisa pula menampilkan orang-orang baik, dalam format yang kumal, lusuh, dan tak punya gairah hidup.

Semua itu telah memaksa orang dengan perlahan namun dangat masif, bahwa orang-orang besar ialah mereka yang berulang-ulang muncul di televisi, tampil di atas panggung, menyeruak di atas pentas. Padahal ada berjuta orang baik yang tak pernah dikenal. Ada berjuta orang baik yang deumr hidupnya , hingga akhir hayatnya tidak pernah muncul sedetikpun di televisi.

Memahami prinsip ini sangat penting. Tidak semata soal etika menghormati sesama. Lebih dari itu, sikap ini, kali pertama kepentingannya adalah untuk diri kita sendiri. Ialah agar kita tidak pernah sedetik pun merasa lebih baik dari orang lain, dalam hal apa saja. Agar kita tidak mengukur kebaikan dengan kacamata diri sendiri. Sungguh, itu adalah kesalahan besar.

Dunia yang luas ini, semestinya memberi kita ruang kesadaran, bahwa ada begitu banyak orang yang tak kita kenal. Terlebih orang-orang baik di antara mereka. Berapakah saudara kita? Yang dengan mudah kita eja nama-namanya? Berapakah sahabat, kerabat, kenalan dan teman kita? Yang dengan ringan bisa kita sebut namanya? Seratus? Atau dua ratus? Kawan bermain di masa sekolah saja mungkin kita sudah lupa.

Seperti perlombaan di awan yang gelap, seperti itulah hidup kita. Kita semua berlari, mengejar apa yang layak kita persembahkan untuk kehidupan di akhirat kelak. Baik atau buruk, ke surga atau neraka. Begitu pun orang lain. Di sini, di negeri ini, atau di negeri asing nun jauh di sana. Di sekitar kita, atau jauh di pelosk-pelosok desa. Dalam lari yang panjang di medan amal itu, kita tidak pernah tahu, sejauh mana orang lain yang berjuta-juta jumlahnya di dunia ini, telah sampai pada kadar kebaikannya.

Dalam makna yang lebih mendalam, Rasulullah, seperti disampaikan Anas bin Malik, bersabda “Berapa banyak orang yang kusut dan bersebu, memakai selembar pakaian lusuh, tidak mengundan perhatian, namun sekiranya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah mengabulkannya” (HR. Tirmidzi).

Siapa pun kita, sejujurnya kita bukan siapa-siapa. Dilihat dari kenyataan bahwa ada berjuta orang lain di sana, yang mungkin tidak pernah kita kenal sebelumnya. Dan mungkin tidak akan pernah kita kenal selamanya. Sangat mungkin di antara mereka, adalah orang-orang yang jauh lebih baik, lebih terhormat, lebih banyak melakukan kebaikan, lebih luas pengetahuannya, lebih khusu’ penghambaannya, dan lebih kuat pengharapnnya kepada Allah SWT dari pada kita.

Syafi’i sendiri mengajarkan kepada kita bahwa menjadi baik tidak harus terkenal ketiak ia berkata,” Saya ingin sekali manusia mengetahui ilmu ini, dan tidak menisbahkannya sedikit pun pada saya selam-lamanya”. Lantas ia memberi alasan, “Agar aku diberi pahala karenanya, dan mereka tidak memuji aku”.

Menjadi baik tidak serta merta terkenal. Sebagaiman orang-orang terkenal, kesohor bukan berarti ia orang-orang yang layak ditiru. Ini adalah zaman di mana ketenaran bisa dengan modal murahan, termasuk menggadaikan kehormatan dan jati diri.

Di hari-hari yang penuh fitnah ini, kita harus yakin, ada begitu banyak orang yang kita kenal, tapi mereka jauh lebih baik dari kita. Kesadaran ini akan memacu dua hal sekaligus: kita akan terus berbenah, menata diri dan meningkatkan kebaikan.  Kedua bahwa kita tidak boleh merasa cukup, merasa lebih baik, sebab hanya kelak di akhirat kita tahu dalam persidangna masal seluruh penduduk bumi, apakah kita baik atau tidak.

Ada banyak orang baik yang memilih untuk tidak dikenal. Mereka mencintai pilihan hidup yang juga dicintai Allah. Seperti disabdakan Rasulullah,”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang sembunyi-sembunyi, miskin bertakwa dan berbuat kebaikan. Jika mereka tidak tampak maka tidak dicari orang, dan apabila mereka tampak mereka juga tidak dikenali orang. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dari segala cobaan yang buta dan gelap”

Ada berjuta orang yang memilih jalan itu. Ya, ternyata ada berjuta orang baik yang tak kita kenal.